“Jujur, aku juga tidak tahu. Aku tidak pernah yakin, apakah Dewa Bayan memang merasukiku?” –Nim. Penggalan ini menjadi pembuka ulasan film yang bergenre horror asal Thailand. Langsung saja kami ulas sedikit mengenai alur ceritanya, menurut filmbor.com
Sebuah film horor terbaru dari negara tetangga Thailand baru saja dirilis. Film ini hadir di CGV pada 20 Oktober dan akan menghadirkan pengalaman horor terbaru bagi para penontonnya.
Mengapa demikian? Sama halnya dengan Indonesia, negara Gajah Putih itu juga masih memercayai hal-hal berbau mistis. Penonton akan dibawa untuk melihat sebagian kecil kepercayaan di suatu desa terpencil, tepatnya daerah timur laut Thailand yang bernama Isan.
Dalam sebuah kepercayaan orang di sana, warga setempat masih menganut kepercayaan mistis sehingga amat percaya akan tradisi semacam itu. Kepercayaan terhadap roh selama berabad-abad membuat warga di desa Isan memiliki sejumlah tempat persembahan dan sembahyang di depan rumah ataupun di hutan.
Mereka juga percaya roh itu bukan hanya roh orang meninggal saja, melainkan meliputi pula rumah, pohon, pegunungan, lautan bahkan hingga ladang dipercaya memiliki roh.
Cerita ini dimulai dari sekelompok tim dokumenter yang tertarik untuk mengangkat kisah kepercayaan warga Isan. Maka untuk memudahkan informasi yang di dapat mengenai roh yang disebutkan sebelumnya, mereka memutuskan untuk mewawancarai beberapa dukun di sana.
Kemudian, terpilihlah Nim, seorang dukun yang dirasuki oleh dewa bernama Martian atau menurut kepercayaan orang timur Dewa Bayan. Dia merupakan dewa baik yang selalu memberkati setiap orang.
Selain menceritakan garis keturunan dukun dalam keluarganya, Nim juga menceritakan garis keturunan saudara kandungnya. Ia sendiri merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara.
Kakak pertamanya adalah seorang laki-laki bernama Manit dan kakak keduanya adalah perempuan bernama Noi yang sebelumnya menolak melanjutkan garis keturunan dukun. Manit digambarkan telah menikah dan baru memiliki seorang putra usia balita.
Sementara terkait Noi, ia memiliki dua orang anak, yang pertama adalah laki-laki bernama Mike dan seorang anak perempuan bernama Mink. Malangnya, Noi harus kehilangan putra pertamanya pada suatu kecelakaan sepeda motor.
Ia juga baru saja kehilangan suaminya yang bernama Willow karena penyakit kanker yang diderita olehnya. Kini, Noy hanya tinggal bersama anak perempuan satu-satunya.
Akan tetapi setelah pemakaman sang ayah, Mink memiliki beberapa perubahan perilaku. Perubahan perilaku itu dimulai dari tatapan kosong, berbicara sendiri, bermimpi bertemu sesuatu yang mengerikan, hingga perubahan ekstrem selayaknya seorang yang kehilangan akal sehat. Bahkan, perubahan sikapnya tersebut tergolong menyeramkan, hingga membahayakan keluarga dan dirinya sendiri.
Konsep film ala dokumenter ini membawa kita pada informasi yang terbatas sehingga kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi saat kamera dimatikan. Hal tesebut akan menambah aspek misteri yang terdapat pada beberapa adegan yang tidak ditayangkan dalam film.
Konsep rekaman dokumenter tersebut mengingatkan kita pada ‘REC’, sebuah film horor asal Spanyol tahun 2007 yang ditulis dan disutradarai oleh Jaume Balagueró dan Paco Plaza. Film tersebut dari awal hingga akhir membawa konsep rekaman dokumenter yang sama persis dengan film ‘The Medium’.
Dalam konsep rekaman dokumenter, kameramen akan mengikuti setiap gerak pemain dan juga beberapa wawancara yang terjadi di dalamnya. Saat pertama kali tayang, ‘REC’ menjadi film yang sukses secara komersial dan diakui kritikus. Film tersebut diakui sebagai salah satu film terbaik bertema found footage. Berkat kesuksesan tersebut, ‘REC’ masuk ke dalam daftar 100 film terbaik versi Time Out, tepatnya di urutan ke-60.
Sejumlah teknik pengambilan gambar dalam film ‘The Medium’ adalah teknik one shoot atau long take, yaitu teknik pengambilan gambar yang memperlihatkan diambilnya adegan tanpa jeda atau terpotong. Dengan begitu, penonton dapat melihat akting natural yang dilakukan oleh para pemain. Belum lagi sejumlah rekaman bergaya found footage, seperti dari CCTV, dan rekaman kamera infrared ikut menambah suasana “gelap” dalam film tersebut.
Meskipun saat menonton beberapa adegan yang terjadi berkesan gimmick, hal tersebut masih bisa diterima walaupun itu menjadi salah satu kekurangan dalam film ini. Hal tersebut disebabkan karena di Indonesia jarang sekali menemui konsep film seperti ini.